Sabtu, 06 Oktober 2012

Sepotong Kisah

      “Adrianna.”
      Aku terdiam. Kalau Kakek sudah memanggilku begitu, pasti ada sesuatu. Aku menoleh. Dan benar saja, Kakek sedang menatapku tajam. Haruskah aku yang pertama dieksekusi kali ini?
      “Kamu masih pacaran sama laki-laki itu?”
Well, yeah. Seharusnya aku sudah tau apa yang akan dibahas. Kakek masih menentang hubunganku dan Brian.
      “Iya, Kek, kenapa?” Dengan berani kucoba mengimbangi nada bicara Kakek yang sedingin es itu.
      “Kakek rasa kamu nggak perlu tanya. Kamu tahu apa yang Kakek maksud, kan? Kamu—”
      “Soal perjodohan itu?” Aku menyela. Aku tahu, ini memang tidak sopan (sangat, bahkan) dan para sepupuku serta merta menoleh tajam ke arahku dengan pandangan ‘Oke-Adrianna-lo-sangat-nekat’.
      Melihat Kakek yang diam saja tapi masih dengan tajam menatapku, aku melanjutkan, “Aku udah pernah bilang sama Kakek, aku nggak suka dijodoh-jodohin, Kek. Aku nggak mau ngabisin hidupku sama orang yang nggak kukenal. Kakek memaksa, percuma aja, karena aku mungkin bakal kabur dan mengacaukan pesta pertunangan—”
      Bukk!! Enno menendang kakiku di bawah meja. Aku menoleh, hendak mendampratnya dengan sejuta makian karena membuat kakiku mati rasa sesaat, tapi kemudian mulutku dikunci oleh tatapan elangnya dan mulut penuh racunnya yang berkata pelan dan lambat-lambat, “Elo bakal mati, biyotch.”
      Aku melongo. Mulut Enno memang harus disekolahkan lagi, kurasa, tapi kata-katanya kali ini benar-benar membuatku berpikir bahwa aku harus menata kembali pola pikirku. Apakah kata-kataku segitu keterlaluannya?
      “Ehem!” Kakek berdeham. Aku mengalihkan perhatianku dari Enno dan kembali menatap Kakek. Enno juga, kembali menghadap Kakek.
      “Kalau begitu maumu, Kakek rasa Kakek harus mengambil keputusan yang tegas. Tinggalkan pria itu, atau pria itu yang nanti akan meninggalkanmu.”
      Aku tersentak. Oh no, jangan bilang Kakek bakal....
      “Maksud Kakek?” Shit. Kenapa dari sekian juta macam pertanyaan, harus itu yang keluar dari mulutku?
      “Kakek rasa kamu nggak perlu tanya lagi, Adrianna. Pernyataanmu tadi sudah cukup membuat Kakek berpikir ulang tentang hubunganmu dengan laki-laki itu...” Kakek terdiam sesaat untuk menyesap teh hijaunya. “Rapat selesai. Kalian, bubar.” 
      Kakek berdiri dan meninggalkan meja.
      Aku terkejut. Sontak, aku berdiri sambil menggebrak meja, dan berlari mengejar Kakek. “Tunggu! Kakek!!”
      Perhatianku tiba-tiba terhalang tiga sosok besar berjas hitam. “Maaf Nona, Tuan meminta kami mengamankan Nona.” Oh, siapa lagi kalau bukan ajudan Kakek?
      “Diamankan? Hei, aku juga penghuni rumah ini! Aku cucunya majikan kalian! Kakek mau apa?!” Double shit. Tiga orang ini benar-benar mencengkeram erat pundak dan lenganku.
      “Kami tidak tahu Nona, tapi Nona harus diamankan.”
      Dalam satu gerak, tiga orang itu mengangkatku dan membawaku menjauh dari ruangan itu. Samar-samar, kulihat Enno berdiri di depan pintu sambil mengucapkan sesuatu dengan lambat-lambat, persis seperti yang dilakukannya di ruang neraka tadi.
      “Say goodbye to Brian, dear.”
      Aku merasakan sesuatu yang tajam dan tipis menusuk kulit lenganku. Berikutnya, semuanya menjadi gelap.


vme
06.10.2012 | 14:09

Sabtu, 15 September 2012

Tujuh Belas

17. Di hari ke-22 bulan kemarin.

Selamat.ulang.tahun.

Selamat bertambah umur untuk ke-17 kalinya. Selamat menambah beban di usia yang (katanya) adalah pintu menuju kedewasaan.

Masih ada yang harus diperbaiki. Masih ada yang belum menunjukkan kedewasaan. Ya, semuanya butuh proses. Semua butuh koreksi. Semua nggak bisa terjadi dengan benar semuanya.

Karena itu, di sinilah ia berdiri. Di sinilah ia, yang bertambah umurnya, harus berpikir ulang, apa yang telah ia perbuat selama 17 tahun di belakang. Harus mendata, apa yang tak pantas dilakukan selama 17 tahun kemarin. Harus membuat resolusi, apa yang harus dilakukan ke depannya. Apa yang harus diperbaiki, untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Karena Tuhan sudah memberikan kesempatan untuk melewati angka 17.
Karena Tuhan sudah memberikan rezeki dan hikmah di usia yang berubah dari 16 ke 17.
Karena Tuhan sudah menyiapkan rencana untuk waktu setelah 17 tahun.

Karena itu, ia, si pemilik usia 17, harus merubah pola pikirnya.
Pola pikir yang disadarinya kurang benar, karena selama ini ia hanya melihat diri sendiri. Pola pikir yang ternyata disadarinya kurang benar, karena selama ini ia hanya mementingkan diri sendiri. Pola pikir yang menuntutnya untuk berbuat kurang terpuji.
Semua itu selayaknya diubah.

Seharusnya bukan karena sudah berumur 17 tahun. Seharusnya sudah dari dulu ia berubah menjadi lebih baik. Mengapa ia baru sadar di saat ini? Dan si pemilik umur 17 hanya berpikir satu jawaban: "Karena 17 spesial."
Di usia 17, membuat kartu kependudukan, membuat surat izin kepengendaraan, membuat segala-galanya kebanyakan berawal dari: minimal 17 tahun.

Karenanya, 17 dianggapnya spesial. Tangga menuju kedewasaan. Di bulan kedelapan itu, ia memutuskan untuk menjadi lebih baik. Harapan, resolusi, doa, segala cara harus ia coba untuk berubah. Bermimpi pun, ia lakukan.



"God gave us the gift of life; it is up to us to give ourselves the gift of living well."
- Voltaire

"Real birthdays are not annual affairs. Real birthdays are the days when we have a new birth"
- Ralph Parlette



Terima kasih, Tuhan.
Terima kasih, Voltaire, Ralph Parlette, dan semua orang pencetus quote-quote inspirasional.


vme
15.09.12  | 11:07

Sabtu, 25 Agustus 2012

Pergulatan (Hati)


Males.

Kadang berpikir, why do such a cute-but-killing word like that can have to exist? Akhir-akhir ini, jadi males banget. Maunya duduk doang, nonton, main, baca (nah, this is the hardest thing to resist), apapun selain bersama buku pelajaran. Semua gara-gara libur Lebaran. Bukan, bukan Lebarannya yang gue salahkan, tapi liburnya… Oke, ini cuma di pikiran gue doang emang yang aneh, nyalahin kok liburnya. Tapiiii bener deh. Semangat langsung drop begitu libur. Begitu leha-leha di tempat tidur, bangun di atas jam -piiip- dan tidur lewat jam 12 malem. Ngebiarin PR menumpuk di sudut kamar, sampe raknya berdebu, dan nggak pernah ngorek-ngorek tas, dionggokin gitu aja di sudut kamar juga.

Kemana semangat di awal masuk tahun ajaran baru?? Kemana? Ke laut. Hanyut bersama godaan lain yang lebih menggiurkan dan lebih mengasyikan buat dilakukan.


   “Kalo gini, gimana lo bisa overcome your problem, Vik?” tanya si Hati Baik, hati nurani yang begitu menderita. Semangat yang menghidupkannya perlahan-lahan malah mematikannya.
    “Kenapa sih lo ngurusin masalahnya dia? Elo tuh kecil! Semangat yang dia punya, udah ga ada! Udah mati! Gak ada gunanya lo ngurusin dia!” teriak si hati yang besar, si Hati Buruk.
    “Ayo Vik, semangat! Katanya lo mau berusaha? Mau memperbaiki diri? Mana? Mana niat lo itu? Tunjukin, jangan di mulut doang!” si Hati Baik kembali mengingatkan si pemilik hati.
    “Vik, jangan dengerin dia! Jangan tatap sudut kamar lo! Euuh, isinya cuma rumus ribet dan materi gak penting doang! Lo punya yang lebih menarik, tuh buku lo masih bersampul. Cepetan buka, baca, tamatin!” teriak si Hati Buruk.
    “Jangan, Vik. PR lo butuh perhatian. Selesaikan, belajar lah, sebentar lagi lo bakal ngadepin UN dan segala macem ulangan lainnya. Lo harus nyicil dari sekarang…” bujuk si Hati Baik. Ia mulai terisak. Lelah. Semangat yang menghidupkannya sudah mengecil, tidak lagi memberi energi untuknya.
    “Udahlah, lo udah mau mati ini! Mana semangat yang bikin lo idup selama ini, hah? Mana? Buktinya lo cuma bisa nangis kan sekarang? Lemah, jangan lo pengaruhin lagi majikan gue!” si Hati Buruk menatap dengan pandangan menghina.
    “Gue nggak ngomong sama lo, please!” si Hati Baik melotot. Kemudian suaranya melemah, tanda lampu hidupnya mulai meredup hebat, “Ayolah Vik, apa yang lo dapet dari nonton TV dan ngejogrok di depan komputer terus? Apa yang lo dapet dari baca novel yang bisa lo baca berjuta-juta kali nanti, setelah lo lolos SNMPTN? Bayangin waktu yang lo habiskan dengan semua keasyikan itu, kalo lo lolos! Kalo nggak? Lo bakalan nyesel, bakalan meminta waktu untuk kembali ke masa lalu—untuk memperbaiki nasib lo! Lo harus…”
    “Elaah, itu urusan ntar! Sekarang, nikmatin dulu waktu bebasnya! Sebentar lagi lo masuk, Vik, jangan buang-buang waktu lo dengan belajar sekarang! Itu bisa entaran aja!” potong si Hati Buruk.
    “Vik… Jangan dengerin dia…” suara si Hati Baik mulai mengecil. Napasnya tidak teratur. Suaranya tidak menggebu-gebu seperti sebelumnya. Ia memegangi dadanya, merasakan nyeri luar biasa di sana.
    Ia mencoba tersenyum, mencari sisa-sisa ‘semangat’ yang telah menghidupkannya hingga sekarang. Ia mencoba menatap si pemilik hati, meraba-raba apa yang dirasakan si pemilik hati. Ketika ia mendapat jawabannya, ia tersentak.
    Si pemilik hati sudah memutuskan.


Oke, itu kilasan singkat apa yang terjadi di dalam batin gue… gak deng, gak selebay itu. Tapi, mirip.
Jadi, apa yang ‘si pemilik hati’ putuskan? Entahlah. Si pembuat cerita masih bingung dengan skripnya, jadi tunggu saja kelanjutannya...



Rgds,
vme


*PS: Tapi jujur, baca cerita yang gue bikin sendiri, bikin gue semangat belajar… Woops, spoiler!!

Senin, 20 Agustus 2012

The Last


It should’ve been the last time sitting together and perform.
It should’ve been fun anyway.
It should’ve been memorable.
It should've been perfect, after these-almost-2,5-years.
Yet, I messed it up.
Made you all laugh, and made me want to punch and kick you at your face(s).

Well, I always laugh every time I remember it, though. So just let’s laugh together, this is our (or my?) last year there.

Amigos por siempre.

Rabu, 04 Juli 2012

Miss School


Ini postingan iseng aja, karena gue..... Tiba-tiba kangen sekolah.
 Yeah, you don't misread it. Gue emang KANGEN sekolah.


Gue bukan tipe yang ngabisin waktu ngerjain kumpulan soal kalo gak ada guru (kalo itu tugas gak dikumpulin :p). Atau tipe yang selalu jadi yang pertama maju ketika disuruh ngerjain soal di papan tulis. Dan, bukan tipe yang suka ngabisin berjam-jam di sekolah abis bel pulang kalo bener-bener gak ada keperluan mendadak. Tapi.... somehow, tiba-tiba kepikiran salah satu poster buatan angkatan di atas gue yang dipajang di dinding kelas XII Sos X (lupa, maap) yang begini,

"No matter how much you think you hate school, you will miss it when you leave."

Uh. Sebenci-bencinya lo sama sekolah, tempat itulah yang paling ngangenin ketika lo gak di situ lagi. Contohnya, sekarang. Pas gue libur, gue justru kangen sekolah. Kangen duduk di kursinya. Kangen mandangin papan tulis kinclongnya. Kangen bau buku pelajaran—yeah, baunya doang, bukan isinya. Kangen isi tas yang berat (err, yakin?). Kangen gedung sekolah yang banyak tangganya. Kangen makanan kantin yang rata-rata 5000an tapi ngenyangin. Kangen curhat-curhatan ababil. Kangen ngecengin kakak kelas bwahahaha. Kangen nyeburin yang lagi ultah ke kolam ikan yang baunya busuk banget, yang berakhir meper-meperan dan akhirnya semuanya ikutan bau amis.
Kangen semuamuanya.

Just wondering, how will my life be without school? :)

Rgds,
vme 

Senin, 25 Juni 2012

Psikotest


Setelah bergalau ria ingin masuk mana, akhirnya gue memutuskan ikut psikotest yang bertujuan menentukan minat dan bakat. Adanya di Lembaga Psikologi Terapan UI, Salemba. Diadakan 2 kali sebulan. Setiap Kamis minggu kedua dalam bulan itu, dan hari Minggu terakhir bulan itu. Gue ikut yang Minggu terakhir, which means, kemarin tanggal 24 Juni.


Tesnya dimulai jam 9 pagi. Awalnya dikasih lembaran isi keterangan data diri, sekolah dimana, umur, berat, tinggi, pelajaran fav, data keluarga, blablabla pokoknya bisa deh lo isi sendiri.

Daaaan, memasuki tes pertama, gue nyadar kalo salah BANGET. Kenapa? Karena gue nggak sarapan. Oke, gue sarapan sih, tapi cuma roti dan susu, dan itu jelas nggak cukup—mengingat ternyata tesnya itu buanyaaak banget dan butuh kerja keras otak! Sakit hati nginget perut gue keroncongan—sampe gue harus setengah mati gak konsentrasi demi menyembunyikan desis perut—di tengah-tengah pengerjaan padahal masih one hour and half to go till break time!! Argh! Mana breaknya juga cuma sekali, jam setengah 1.

Gue ga akan ngejabarin tesnya satu-satu ya, hehe, soalnya ntar ketahuan dong tesnya kayak apa. Intinya aja lah ya. Pokoknya tesnya itu ada tes deret angka, gambar ini-itu, itung-itungan, pengetahuan verbal, umum, dan banyak deh.  Ada sekitaran 10an tes. Mungkin lebih kali, belasan. 

Saran aja. Makan dan tidur yang cukup. Ini soal-soalnya menguji mental banget. Alurnya : dibagiin tes A, kerjain, selesai, kumpulin, lalu dikasih lagi tes B, kerjain, waktu habis, kumpulin, dikasih lagi tes C. Gituuu terus sampe mampus dari jam 9 sampe selesai jam 4 sore.

Ah ya. Saran lagi: bawa temen. Serius, bakal bosen banget nunggu break dan nggak ada temen buat haha-hihi. Yaa walaupun nggak ditempatin di kelas yang sama (karna nama-namanya diacak, gak sesuai nomor urut pendaftaran).

Dan ohya, sekadar info lagi, hasil tesnya diambil sebulan setelah tes.


Buat yang tertarik psikotest ini, silakan dicoba :
Lembaga Psikologi Terapan UI : 3145078 / 3907408 / 3908995


PS : Ini bukan ngiklan sih, cuma share aja. Untukmu, yang sedang menggalaukan passion-mu :)

Jumat, 22 Juni 2012

Death?


Hari ini gue seperti ditampar. Mengenai apa? Kematian.

Kematian itu... nggak diduga. Seorang teman baru meninggal dan gue shock. Walaupun gue ga terlalu kenal dia, to think that he's not gonna be with us anymore... That aches. One person has gone. Kematian memang sesuatu yang unpredictable.

Dan, membaca novel yang tokohnya mengalami kelainan atau suatu penyakit hingga tiap hari dibayangi kemungkinan ia akan meninggal juga mengubah cara pandang gue. Mereka begitu bukan karna mereka mau, tapi takdir. Kejam memang, tapi Tuhan adil dengan meratakan positif dan negatif hidup seseorang. Mereka yang spesial, sangat ingin untuk jadi normal. Dan, tak jarang pula ada orang normal yang ingin jadi spesial. If only you know what I mean.

Kenapa tiba-tiba ngomongin kematian? Yah, bukan berarti abis nge-post ini gue berharap gue meninggal atau apa (nggak akan!), tapi gue tiba-tiba kepikiran aja sama mereka yang tiap hari dibayangi kemungkinan akan meninggal. Atau, seperti teman nyokap gue yang... katakanlah, bisa melihat mereka yang akan meninggal.

Seram. Cemas. Takut. Khawatir.



Inget banget kata seseorang, "Kematian itu bukan untuk ditakuti atau dihindari. Tapi untuk dihadapi."

Dia juga lah yang bilang bahwa, "Nggak ada habisnya menangisi mereka yang telah pergi. Nggak ada yang lo dapet selain kesedihan yang berlarut dan rasa penyesalan. Sedih itu wajar, tapi jangan biarin dia menguasai hidup lo, mengambil alih semua akal sehat lo dan membuat lo ngelakuin hal yang biadab atau absurd. Lebih baik lo berdoa, supaya mereka yang pergi diterima di sisiNya."

Ngena banget. Telak.

Karena gue nggak pernah suka kematian.

Warna hitam pakaian mereka yang berkunjung. Kesedihan di setiap wajah. Duka. Simpati. Mencoba memberi kekuatan. Pemandangan batu nisan di pemakaman. Bunga-bunga. Ucapan turut berdukacita. Air mata. Tisu. Raungan. Isakan. Sembab.


Semua karena: akan ada perpisahan di setiap pertemuan.

Seperti apa hidup mereka yang telah meninggal? After life mereka? Dan, selalu muncul pertanyaan: seperti apa surga dan neraka?

Waktu. Tuhan yang menentukan kapan, dimana, dan bagaimana.



vme
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Follow

About me

What's Hot

You're The...

My Other Blog

Pages

Popular Posts

 

Template by BloggerCandy.com