Sabtu, 24 Maret 2012

Rest In Peace



Farewell, Grandmother. Hope you are happy with all those burdens released, without having to struggle anymore. Hope you are accepted in His side. Amen.





“Death is not the greatest loss in life. The greatest loss is what dies inside us while we live.”
— Norman Cousins



Senin, 12 Maret 2012

Negeri 5 Menara


Oke ini telat banget, tapi karena berbagai hambatan jadilah baru menulis sekarang.

Suatu hari temen gue yang berinisial HA dapet tiket nonton bareng (nobar) via twitter majalah kaWanku (@onyitkawanku). Nobar apa? Nobar film Indonesia yang lagi hot-hotnya : Negeri 5 Menara. 


Gue udah pernah denger sih tapi, jujur, sama sekali ga berniat nonton. Tapi kalo ada yang ngajak, ayo aja. Balik ke masalah tiket gratis, si HA ini ga bisa dateng ke nobarnya itu dan dia menyerahkan tiket itu ke gue. Gue sebagai temen yang baik, ga nyia-nyiain itu tiket, menerima dan menawarkan pada orang-orang yang mau menemani gue nonton (karna tiap pemenang dapet 4 tiket, gue bisa ngajak 3 orang temen). Setelah pergumulan via sms dan bbm, akhirnya Chika dan Naudi mau nemenin gue di hari Sabtu, 3 Maret 2012.

Tentang filmnya, gue beneran clueless tentang film ini. Yang gue tau, film Negeri 5 Menara ini diadaptasi dari novel berjudul sama oleh Ahmad Fuadi. Di covernya bernuansa ke-oranye-an, ada 5 bangunan yang terkenal. Monas, Washington Monument, Big Ben, Al Azhar University, dan Masjid Al Haram. Itu aja yang gue tau (itupun yang Al Azhar dan Masjid Al Haram gara-gara dikasi tau temen). Sisanya, ceritanya gimana dan siapa aja tokoh/pemainnya di film, asli ga tau.

Kemudian, teaternya udah dibuka dan kita masuk dengan sistem free seat. Sebelum film dimulai, ada bagi-bagi hadiah nih. Kita disuruh ngecek bawah kursi, ada 5 hidden gift yang tersebar. Uh, faktor ketidakberuntungan, gue ga dapet. Terus ada pertanyaan dari si MC-nya. Nama pemain film pemeran tokoh utamanya siapa, dan apa aja akun twitter majalah kaWanku, Chic, dan Sekar. Dan... ga dapet juga, kalah cepet -_-

Setelah itu, barulah filmnya dimulai...


Negeri 5 Menara menceritakan tentang Alif, anak Padang yang di“minta” orangtuanya bersekolah di Pondok Madani. Walaupun sebenarnya Alif ingin ke SMA di Bandung dan lanjutkan ke ITB, Alif berusaha memenuhi keinginan ibunya. Coba-coba dulu gitu lah. Di sana, Alif berteman akrab dengan Raja, Baso, Atang, Said, dan Dulmajid yang berasal dari berbagai daerah.

Mereka berenam dijuluki Sahibul Menara karena mereka selalu berkumpul di bawah menara Pondok Madani. Dan suatu hari, mereka melihat ke awan dan menebak-nebak awan itu seperti negera impian mereka masing-masing. Alif ke Amerika Serikat, Raja ke London, Baso ke Arab Saudi, Atang ke Mesir, Said dan Dulmajid memilih tetap di Indonesia.


Hari pertama sekolah, seorang guru (lupa namanya) datang membawa bambu dan mulai memotong bambu kayu itu dengan golok. Setelah pergulatan yang cukup berat, guru itu berhasil. Kemudian ia menekankan pada murid-muridnya: “Man Jadda Wajada” yang artinya: “siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil”. Inilah kata-kata yang dibawa keenam sahabat ini.


Sejak itu kehidupan Alif penuh warna. Ia mulai menikmati sekolahnya.
Mulai dari menyemangati Baso belajar bahasa Inggris sampai akhirnya berpidato; dihukum saling menjewer karena terlambat; liburan ke tempatnya Atang di Bandung—di sana bertemu Randai sobatnya di Padang yang merantau ke Bandung; menjadi jurnalis & fotografer di Majalah Syams Pondok Madani; berkenalan dengan Sarah, keponakan Kyai Rais (walaupun akhirnya gagal berfoto bersama Sarah :D).


Bagian yang menggelitik adalah ketika keenamnya berlibur ke kampungnya Atang di Bandung. Mereka bersepeda bersama dan melewati sebuah sekolah khusus wanita. Demi “melindungi diri”, Alif dan Baso menutup mata mereka walaupun saat itu mereka lagi bersepeda. Alhasil, ga liat ada batu dan... jatuh deh, ha ha ha :D

Kemudian penonton dibawa ke kenyataan pahit bahwa Baso harus meninggalkan PM. Neneknya sakit keras dan ia sebagai keluarga satu-satunya, harus merawatnya demi bakti kepada sang nenek yang sudah membesarkannya. Sepeninggal Baso, Alif jadi ikut-ikutan galau, ingin meninggalkan PM dan sekolah di Bandung seperti rencana awalnya. Apalagi ibunya udah mengijinkan. Bahkan ia menekankan—pada keempat sahabatnya ketika ditanya apa ia ingin ikut-ikutan Baso—bahwa ia memang dari awal tidak mau sekolah di PM. Aduuuh si Alif -_-

Tapi pada akhirnya, Alif tetap tinggal di PM. Lalu demi Baso, mereka berlima meneruskan usaha Baso menggalang anak-anak seangkatan untuk mementaskan Ibnu Batutah. Di sini deh, puncaknya. Kesolidaritasan mereka benar-benar menusuk ke tulang. Dari rencana pementasan, belanja barang-barang yang diperlukan, latihan drama, sampai ke pementasan akhir... Top banget! Iringan musik juga terasa menggetarkan, menghidupkan pementasan mereka.

Kemudian, ending menunjukkan keenam sahabat ini berhasil mencapai cita-citanya. Alif, Raja, dan Atang bertemu di Trafalgar Square, London. Lalu menghubungi ketiga temannya di Indonesia.

Man Jadda Wajada :)


* * *

Inspirasional.

Menurut gue film ini cocok buat semua umur. Apalagi remaja, yang lagi galau-galaunya pengen masuk jurusan mana/kuliah di mana. Kita bisa tau gimana galaunya Alif, antara milih keputusan orangtuanya atau tetep keukeuh sama pendiriannya. Dan akhirnya, Alif milih ngikut orangtua. Kalo emang ga cocok, barulah si Alif ikut kemauannya (mungkin gue harus ikutin cara si Alif kali ya duuuh).

Terus, solidaritas keenam tokoh ini yang begitu erat. Persahabatan yang ga putus walau sudah merantau ke negeri orang. Tapi sayangnya, eksekusi ending agak kurang kali ya. Begitu saja dan terjadinya cepat. Tau-tau aja, udah di London dengan segala keberhasilan mereka.Tidak diceritakan gimana berhasilnya mereka. Uh oh, atau itu akan diceritakan di sekuelnya?


Tapi overall, filmnya oke kok. Jadi pengen nonton sekuelnya: Ranah 3 Warna.


Man Jadda Wajada!
Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Follow

About me

What's Hot

You're The...

My Other Blog

Pages

Popular Posts

 

Template by BloggerCandy.com