Sabtu, 28 Januari 2012

2008

Ini cuma cerita biasa. Cerita akan masa laluku. Cerita yang membosankan. Cerita yang tak bermakna. Tapi untukku, ini sangat berharga. Memberi pelajaran, kenangan, dan trauma.


Kisah itu, entah beberapa tahun lalu. Aku dan kamu sama-sama berseragam putih merah. Aku dan kamu bersama dalam satu kelas. Satu atmosfer. Aku dan kamu sama-sama hanya tahu nama—tidak terlalu akrab.

Tapi, apa kamu tahu? Aku diam-diam memperhatikanmu. Mengawasi gerak-gerikmu, selalu memastikan kamu ada dalam jarak pandangku. Saat itu aku tak mengerti apa namanya, saat itu aku masih terlalu muda dan polos untuk urusan cinta. Tapi yang kutahu, dadaku selalu bergetar lain daripada biasanya... when it comes to you.

Karena itu saat kamu tiba-tiba menyapaku, mengulas senyum manismu kepadaku, menatapku tepat di manik mataku, mengucapkan kata sederhana: “Hai.”; aku terkesiap. Terpana. Melongo heran. Tapi di dalam hatiku, aku bersorak kegirangan.

Aku pun membalas sapaanmu, “Hai.”

Sejak itu, duniaku perlahan berubah. Kamu sering menyapaku. Kamu sering mengajakku ngobrol. Kamu sering melontarkan humormu di sela-sela waktu kosong kita. Kamu sering mengajakku ke kantin. Kamu sering meluangkan waktu untuk menunggu supaya bisa pulang bersama. Atau kalau kamu sedang iseng, kamu menggangguku dan menjahiliku lalu aku akan mengejarmu dan kita akan saling berlarian di sepanjang koridor sekolah—dan pernah di lapangan—dengan aku mengucapkan sejuta kata sumpah serapah untuk membalas kebandelanmu.

Lalu semua itu ditutup dengan senyum manis di wajahmu dan wajahku. Wajah kita.

Kamu tak lagi buram di mataku, kamu perlahan menjadi jelas dan nyata. Hidupku tak lagi putih abu-abu, tapi juga menampilkan warna cerah lainnya. Aku senang. Aku bahagia.

Seminggu. Dua minggu. Dua minggu kedekatan kita, setelah kamu menyapaku dan membuat hari-hariku berwarna. Apakah ini terlalu cepat untukku merasakan sesuatu yang meluap-luap, lebih dari perasaanku yang biasanya? Sukakah? Atau, cintakah? Saat itu aku hanyalah anak berseragam putih-merah yang tak tahu apa-apa dan tak mau berpikir panjang. Akan segala hal yang mungkin terjadi. Akan segala hal yang mungkin ada di balik ini semua.

Aku bodoh.


“Lara, kamu sama Ota pacaran yaaa?”
“Ota, kamu suka sama Lara kan?”
“Alaaah, bilang aja kalian pacaran. Udah deh, gak usah nyangkal segala. Keliatan, tau.”
“Cieee, Ota sama Lara! Ehem ehem ehem!!”
“Gak usah malu-malu gitu lah. Tiap hari, tiap saat barengan, tiap hari adaaa aja berantemnya.”
“Kejar-kejaran di koridor setiap hari kan capek. Tapi kalian sukarela tuuuh...”
“Laraaaaa, mana Ota-nya?”
“Otaaaa, mana Lara-nya?”



Ingatkah kamu akan kata-kata itu? Dari teman-teman kita. Ejekan, cemoohan, siulan, godaan, semuanya untuk kita. Juga saat sahabat-sahabatku menarikmu ke pojokan kelas dan menodongmu dengan berbagai pertanyaan yang menyangkut aku: “Kamu serius gak sama Lara?”, “Kamu suka kan sama Lara? Ngaku aja deh!”, “Ayo bilang! Kamu gak jantan kalo nyembunyiin perasaanmu terus, Ta!”, dan lain semacamnya; kamu hanya tertawa menanggapinya lalu pergi sambil berkelit ada sesuatu yang harus dikerjakan. Aku tidak menaruh perhatian di bagian itu. Tepatnya, aku tidak curiga.

Tapi satu hal yang kusadari, seiring berkembangnya gosip itu, kamu terasa semakin menjauh. Kamu tak lagi selalu di sampingku mengobrol ataupun menjahiliku. Kamu tak lagi menyapaku tiap aku lewat di depanmu—aku yang menyapamu dahulu.

Obrolan kita pun berkurang. Kamu juga sering menghilang di saat istirahat dan kembali ketika bel masuk berbunyi. Mengajak ngobrol di dalam kelas pun percuma, kamu selalu beringsut bersama cowok-cowok—dan kamu tahu benar aku gampang risih dengan cowok.


“Ota tuh playboy banget! Masa dia deket sama Lara tapi pedekate juga sama Desti??”
“Lara diduain sama Ota ya?”
“Loh tapi Ota nggak bilang mereka pacaran! Sah-sah aja dong dia deketin Desti.”
“Ota, kok gak bareng Lara?”
“Lara, kok gak bareng Ota?”



Lalu kuputuskan satu hal: Aku akan mencari jawabannya sendiri. Layaknya stalker, aku mengikutimu. Mencari celah kapan saja asal kamu tidak menyadari kehadiranku. Menatap punggungmu dalam jarak pandang 5 meter.

OH. Aku menghitung hari sejak kedekatan kita. Mungkin aku terlalu berlebihan, tapi aku benar-benar berpikir kamu spesial. Tiga minggu sejak kedekatan kita, sejak kamu menyapaku, dan di minggu ketiga kamu terasa menjauh.

Lalu, hari itu.

Aku membuntutimu seperti biasa. Saat istirahat, kamu mengubah “rute”mu. Biasanya kamu akan menuju kantin, duduk di kursi bersama kawan-kawanmu atau siapapun yang kamu temui di sana (yah, kamu memang populer dan banyak teman). Tapi hari itu, kamu menuju ke belakang sekolah. Tempat yang jarang sekali didatangi karena memang tak ada apa-apa di sana, hanya kebun dengan rumput panjang dan tak terurus.

Kamu berdiri di sana. Lalu muncul seseorang, menepuk punggungmu. Kamu dan dia berbincang seru. Tertawa-tawa. Seolah ingin menghapus rasa ingin tahuku, angin menyampaikan suaramu dan suaranya.


 “Jadi, mana hadiah untuk gue nih?”
“Huh, sial! Yah... Tapi mau gimanapun, gue harus mengakui kehebatan lo. Gila lo ya, naklukin cewek es itu dalam waktu 2-3 minggu doang. Ckckck! Pake cara apa sih?”
“Hahaha. Gampang aja. Sekali lo tau kesukaannya, ibarat lo udah dapet kunci gerbang yang ditautkan berjuta-juta rantai! Gampang untuk masuk ke dalamnya. Asal udah ada kuncinya kan...”
“Bisa aja lo. Tapi serius deh ya, gue gak nyangka beneran lo bisa nuntasin ‘misi’ lo!”
“Jangan ngeremehin gue makanya. Udaaah, mana hadiah buat kerja keras gue nih?”
“Santai aja. Nih.”
“Wes, sesuai perjanjian kan?”
“Yap. 100 pas.”


Terjadi begitu saja.

Bahwa dia menantangmu bertaruh akan satu hal. Bahwa kalau kamu bisa menaklukan seseorang dalam waktu kurang dari sebulan, dia akan memberimu hadiah. Bahwa pilihan ‘seseorang’ itu jatuh kepadaku. Bahwa kamu berkata “What a great choice!” karena aku dikenal sebagai cewek es—yang biasa saja terhadap cowok manapun.

Begitukah aku di matamu? Aku bukannya biasa saja terhadap cowok manapun. Aku begitu karena aku memang hanya menyukaimu. Untuk apa aku berakrab ria dengan cowok lain, mendekatkan diri pada mereka padahal aku selalu terperangkap pesonamu?

OH. Aku hanya anak berseragam putih-merah pada saat itu. Yang masih terpaku di balik dinding. Yang masih menangkap suara-suara yang angin sampaikan padaku.

Kudengar kamu tertawa. Dia juga tertawa. Selucu itukah? Semenyenangkan itukah melihatku sakit hati? Sebahagia itukah melihatku jatuh ke dalam perangkap?


“Trus mau lo apain dia, heh? Dengan segala gosip-gosip tentang kalian?”
“Biarin aja. Diemin aja. Toh gue udah jarang ngobrol lagi kok, gak sesering yang dulu. Ntar juga itu gosip ilang.”
“Hooo. Trus kalo udah ilang?”
“Baru deh gue resmiin hubungan gue sama Desti.”
“Gak takut digosipin yang macem-macem? Lara ngarep lebih tuh.”
“Ngapain takut. Toh selama ini gue sukanya sama Desti kok, bukan Lara. Itu kan keputusan lo doang nentuin dia sebagai target.”



Seratus ribu rupiah adalah harga hatiku. Seratus ribu rupiah adalah penawaran tertinggi yang ditawarkan dia untuk kamu. Seratus ribu rupiah adalah apa yang akan kamu dapatkan begitu kamu berhasil menyelesaikan misimu—merebut hatiku dalam waktu kurang dari sebulan, lalu membuangnya begitu saja.

Aku seharusnya sudah menduga ada yang salah. Kamu yang tak pernah menyapaku kalau tidak ada hal yang benar-benar penting, tiba-tiba datang padaku. Tersenyum manis padaku. Tidak tahukah kamu, saat itu, jantungku serasa ingin lepas dan keluar dari rongga tubuhku? Lalu kamu mengobrol akrab denganku, seolah kita ini teman yang sudah lama tak bertemu.


“Kok Lara sama Ota nggak pernah nyapa Lara lagi ya?”
“Mereka jadi aneh. Udah jarang keliatan bareng.”
“Huff, Ota emang gampang bosenan kali ya? Kasian tuh Lara.”
“Hei! Masa kemaren aku liat Ota berduaan sama Desti di kelasnya Desti!”
“Aneh. Ota malah seringan sama Desti sekarang...”
“Denger nggak? Ota pacaran sama Desti!”



Upacara berakhirnya riwayat seragam putih-merahku (dan digantikan seragam putih-biru) disertai dengan berakhirnya pemandangan kamu dan perempuan itu di mataku.

Apakah aku lega? Apakah aku bahagia, akhirnya terlepas dari sakit yang terus menyiksa? Apakah aku justru sedih?

Kamu tak pernah sekalipun meminta maaf padaku. Atau setidaknya, menjelaskan semuanya dengan jujur. Kamu meninggalkan aku dan sakit hatiku.


“Liat cewek itu. Tampangnya arogan sekali.”
“Dasar putri es. Dinginnyaaaa!”
“Namanya Lara kan? Yang dari SD X itu?”
“Kayaknya dulu dia nggak sedingin itu deh sama cowok. Kenapa ya sekarang?”
“Liat aja tuh. Ada cowok nyapa, didiemin. Wuiiih. Ada cowok nanya, dijawab singkat. Ada cowok nggak sengaja nyenggol, dia elus-elus bagian yang kena senggol trus pergi. Sombongnya!”
“Hmm... Trauma sama cowok kali ya.”




-Viktoria Mardhika Estepane-
28/01/2012   22:49


PS: kalo ga tau apa makna di balik judulnya, gapapa. emang cuma asal comot tahun

3 comments:

Anonim mengatakan...

Apakah ini kisah nyata The Memory in The Diary?Atau coretan saja?Isn't?

Viktoria mengatakan...

Hanya coretan saja. Terinspirasi dari tetangga SD hohohoho~

Anonim mengatakan...

ohh,terasa sangat real

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

Follow

About me

What's Hot

You're The...

My Other Blog

  • My Seoul Escape - *Pengarang:* Sophie Febriyanti Penerbit: GagasMedia *Tahun:* 2008 *Tebal:* 260 halaman *Hidup Ayunda hancur lebur saat Cello, kekasih yang sangat dia...
    8 tahun yang lalu

Pages

Popular Posts

 

Template by BloggerCandy.com