Oke ini telat
banget, tapi karena berbagai hambatan jadilah baru menulis sekarang.
Suatu hari
temen gue yang berinisial HA dapet tiket nonton bareng (nobar) via twitter
majalah kaWanku (@onyitkawanku). Nobar apa? Nobar film Indonesia yang lagi
hot-hotnya : Negeri 5 Menara.
Gue udah pernah denger sih tapi, jujur, sama
sekali ga berniat nonton. Tapi kalo ada yang ngajak, ayo aja. Balik ke masalah
tiket gratis, si HA ini ga bisa dateng ke nobarnya itu dan dia menyerahkan
tiket itu ke gue. Gue sebagai temen yang baik, ga nyia-nyiain itu tiket,
menerima dan menawarkan pada orang-orang yang mau menemani gue nonton (karna
tiap pemenang dapet 4 tiket, gue bisa ngajak 3 orang temen). Setelah pergumulan
via sms dan bbm, akhirnya Chika dan Naudi mau nemenin gue di hari Sabtu, 3
Maret 2012.
Tentang
filmnya, gue beneran clueless tentang
film ini. Yang gue tau, film Negeri 5 Menara ini diadaptasi dari novel berjudul
sama oleh Ahmad Fuadi. Di covernya bernuansa ke-oranye-an, ada 5 bangunan yang
terkenal. Monas, Washington Monument, Big Ben, Al Azhar University, dan Masjid
Al Haram. Itu aja yang gue tau (itupun yang Al Azhar dan Masjid Al Haram
gara-gara dikasi tau temen). Sisanya, ceritanya gimana dan siapa aja
tokoh/pemainnya di film, asli ga tau.
Kemudian,
teaternya udah dibuka dan kita masuk dengan sistem free seat. Sebelum film dimulai, ada bagi-bagi hadiah nih. Kita
disuruh ngecek bawah kursi, ada 5 hidden
gift yang tersebar. Uh, faktor ketidakberuntungan, gue ga dapet. Terus ada
pertanyaan dari si MC-nya. Nama pemain film pemeran tokoh utamanya siapa, dan
apa aja akun twitter majalah kaWanku, Chic, dan Sekar. Dan... ga dapet juga,
kalah cepet -_-
Setelah itu,
barulah filmnya dimulai...
Negeri 5
Menara menceritakan tentang Alif, anak Padang yang di“minta” orangtuanya
bersekolah di Pondok Madani. Walaupun sebenarnya Alif ingin ke SMA di Bandung
dan lanjutkan ke ITB, Alif berusaha memenuhi keinginan ibunya. Coba-coba dulu
gitu lah. Di sana, Alif berteman akrab dengan Raja, Baso, Atang, Said, dan
Dulmajid yang berasal dari berbagai daerah.
Mereka berenam
dijuluki Sahibul Menara karena mereka selalu berkumpul di bawah menara Pondok
Madani. Dan suatu hari, mereka melihat ke awan dan menebak-nebak awan itu
seperti negera impian mereka masing-masing. Alif ke Amerika Serikat, Raja ke London,
Baso ke Arab Saudi, Atang ke Mesir, Said dan Dulmajid memilih tetap di Indonesia.
Hari pertama
sekolah, seorang guru (lupa namanya) datang membawa bambu dan mulai memotong
bambu kayu itu dengan golok. Setelah pergulatan yang cukup berat, guru itu
berhasil. Kemudian ia menekankan pada murid-muridnya: “Man Jadda Wajada” yang
artinya: “siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil”. Inilah kata-kata yang
dibawa keenam sahabat ini.
Sejak itu kehidupan
Alif penuh warna. Ia mulai menikmati sekolahnya.
Mulai dari menyemangati
Baso belajar bahasa Inggris sampai akhirnya berpidato; dihukum saling menjewer
karena terlambat; liburan ke tempatnya Atang di Bandung—di sana bertemu Randai
sobatnya di Padang yang merantau ke Bandung; menjadi jurnalis & fotografer
di Majalah Syams Pondok Madani; berkenalan dengan Sarah, keponakan Kyai Rais (walaupun
akhirnya gagal berfoto bersama Sarah :D).
Bagian yang
menggelitik adalah ketika keenamnya berlibur ke kampungnya Atang di Bandung.
Mereka bersepeda bersama dan melewati sebuah sekolah khusus wanita. Demi “melindungi
diri”, Alif dan Baso menutup mata mereka walaupun saat itu mereka lagi
bersepeda. Alhasil, ga liat ada batu dan... jatuh deh, ha ha ha :D
Kemudian
penonton dibawa ke kenyataan pahit bahwa Baso harus meninggalkan PM. Neneknya
sakit keras dan ia sebagai keluarga satu-satunya, harus merawatnya demi bakti
kepada sang nenek yang sudah membesarkannya. Sepeninggal Baso, Alif jadi
ikut-ikutan galau, ingin meninggalkan PM dan sekolah di Bandung seperti rencana
awalnya. Apalagi ibunya udah mengijinkan. Bahkan ia menekankan—pada keempat
sahabatnya ketika ditanya apa ia ingin ikut-ikutan Baso—bahwa ia memang dari
awal tidak mau sekolah di PM. Aduuuh si Alif -_-
Tapi pada
akhirnya, Alif tetap tinggal di PM. Lalu demi Baso, mereka berlima meneruskan
usaha Baso menggalang anak-anak seangkatan untuk mementaskan Ibnu Batutah. Di
sini deh, puncaknya. Kesolidaritasan mereka benar-benar menusuk ke tulang. Dari
rencana pementasan, belanja barang-barang yang diperlukan, latihan drama,
sampai ke pementasan akhir... Top banget! Iringan musik juga terasa
menggetarkan, menghidupkan pementasan mereka.
Kemudian,
ending menunjukkan keenam sahabat ini berhasil mencapai cita-citanya. Alif,
Raja, dan Atang bertemu di Trafalgar Square, London. Lalu menghubungi ketiga
temannya di Indonesia.
Man Jadda
Wajada :)
* * *
Inspirasional.
Menurut gue film
ini cocok buat semua umur. Apalagi remaja, yang lagi galau-galaunya pengen masuk
jurusan mana/kuliah di mana. Kita bisa tau gimana galaunya Alif, antara milih
keputusan orangtuanya atau tetep keukeuh sama pendiriannya. Dan akhirnya, Alif
milih ngikut orangtua. Kalo emang ga cocok, barulah si Alif ikut kemauannya (mungkin gue harus ikutin cara si Alif kali ya duuuh).
Terus,
solidaritas keenam tokoh ini yang begitu erat. Persahabatan yang ga putus walau
sudah merantau ke negeri orang. Tapi sayangnya, eksekusi ending agak kurang
kali ya. Begitu saja dan terjadinya cepat. Tau-tau aja, udah di London dengan segala keberhasilan mereka.Tidak diceritakan gimana berhasilnya mereka. Uh oh, atau itu akan diceritakan di sekuelnya?
Tapi overall, filmnya oke kok. Jadi pengen nonton sekuelnya: Ranah 3 Warna.
Tapi overall, filmnya oke kok. Jadi pengen nonton sekuelnya: Ranah 3 Warna.
Man
Jadda Wajada!
0 comments:
Posting Komentar