Pertama kali aku melihatmu di sebuah konser. Konser piano. Aku mendengar dentingan piano dari ayunan tanganmu, merasakan alunan musik indah merasuk kalbuku. Aksi aroganmu di depan piano, menunjukkan betapa berkuasanya dirimu akan piano itu. Wajah lembutmu, mematikan sel-sel tubuhku dalam sekejap. Membuatku sesak napas, walau pandanganmu bukan tertuju padaku. Membuatku kehilangan kendali atas otakku.
Sejak itu, kamu menempati posisi teristimewa dalam hatiku. Pikiranku. Otakku. Hidupku. Seakan-akan, aku hidup hanya untuk kamu.
Di konser itu, aku lupa memotretmu. Lupa mengabadikan sosok indahmu, karena mataku tak pernah beranjak sedetikpun dari siluetmu dan pianomu. Tapi aku tidak melupakanmu. Wajahmu. Senyummu. Postur tegapmu. Semua terekam jelas di memoriku. Menjadi kenangan yang takkan mungkin terulang.
Tapi, adegan aku bertemu denganmu lagi tak pernah bermain di otakku.
Karena itu, begitu aku melihatmu di sini, di sebuah toko musik, aku seketika meragukan penglihatanku. Memaki kerja otakku yang mulai kacau karena hanya ada kamu sebagai program kerjaku.
Toko itu bisa terbilang tua. Awalnya milik kakek buyutku yang lalu diturunkan ke kakekku, lalu ayahku. Singkatnya, toko itu milik keluargaku. Aku kadang membantu ayah di toko yang menyediakan segala macam hal berbau musik ini. Jujur aku agak malas bila terlalu memfokuskan diri di toko ini. Aku tak pernah begitu suka tawar-menawar atau berbisnis alat musik, walau aku menyukai keindahan suaranya. Di toko ini pun kebanyakan yang datang hanya orang-orang berumur yang sudah punya pendamping—atau setidaknya calon.
Karena itu, kupikir tak ada yang menarik. Sampai hari ini, aku melihatmu memasuki toko keluargaku, dan melihat sekelilingmu. Sejurus kemudian, kamu menyadari sosokku, yang berdiri di rak berisi deretan jenis biola. Kamu menatapku. Aku menatapmu.
Yang tak kuduga adalah kamu yang menghampiriku.
Yang tak kuduga adalah kamu yang menatapku saat langkahmu menuju padaku.
Yang tak kuduga adalah kamu yang tersenyum begitu kakimu berhenti tepat di depan kakiku.
Waktuku seolah berhenti. Oh. Bukan seolah berhenti, tapi memang berhenti.
"Saya sudah lama mengagumi toko musik ini. Saya ingin mencari buku lagu dan kaset klasik piano..."
Aku tersenyum.
Ah... Ini akan jadi hari yang menyenangkan
-Viktoria Mardhika Estepane-
02/02/2012 20:17
My Seoul Escape
-
*Pengarang:* Sophie Febriyanti
Penerbit: GagasMedia
*Tahun:* 2008
*Tebal:* 260 halaman
*Hidup Ayunda hancur lebur saat Cello, kekasih yang sangat dia...
8 tahun yang lalu
1 comments:
ouh so sweet bgt!
nice story :)))
Posting Komentar